Senja begitu indah terlukis di ujung barat dunia dengan sinar kemerahannya. Lukisan di ujung cakrawala itu akan bertambah indah jika kau menikmatinya dari bukit yang saat ini aku tempati. Sebut saja bukit Penantian. Kau bisa mengunjunginya kapan pun kau mau, tapi biasanya orang yang datang untuk menikmati lukisan senja di bukit penantian adalah mereka yang telah lama menanti perjumpaan dengan cintanya yang entah ada di mana. Atau mereka adalah orang-orang yang tak pernah mendapatkan kepastian, walau telah menanti selama seribu tahun kehadiran sosok yang amat ia rindukan.
Dua jam yang lalu aku tidak sendiri di atas bukit ini. Ada dua pasang muda-mudi dan satu turis asal Norwegia di tambah dengan seorang guide wanita yang memandu turis itu. Tapi mereka telah berlalu karena gerimis mendadak jatuh dari bentangan langit biru. Tidak deras benar, tapi cukup untuk membasahi dedaunan dan pohon-pohon pinus di sekitar bukit Penantian, termasuk tubuhku yang hanya mengenakan t-shirt warna putih dan celana The North Face ¾ warna hitam.
Aneh, walaupun ribuan bulir air berjatuhan dari angkasa, tidak membuat sinar senja surut dan sirna. Lihat! Tanganku masih bisa merasakan kehangatan sisa-sisa cahaya senja ini, tapi juga basah oleh titik-titik gerimis. Itu namanya hujan kethek, kata temen-temenku dulu.
Aku masih betah untuk berlama-lama di atas sini. Menikmati warna hijau dedaunan, marasakan hangatnya cahaya senja, membiarkan tubuh basah oleh bintik-bintik hujan, dan… membiarkan pikiranku tenang. Mencoba menerima dengan tulus apa yang telah Allah gariskan dalam hidupku.
Menatap senja yang bertemankan gerimis membuatku teringat beberapa kejadian. Sebenarnya bukan teringat secara kebetulan, tapi sengaja. Sengaja mengingat-ingat sesuatu yang telah membuatku kalut selama 12 bulan terakhir ini.
“jagung godhok Mas…?” seruan penjual jagung godhok itu mengagetkanku. Hawa hangat terpancar dari deretan jagung godhok itu. Aku menatapnya ramah dan tersenyum. Menggeleng pelan. Dia pun berlalu, menawarkan kepada pengunjung lain yang mungkin berselera untuk membeli jagung godhoknya sebagai teman ngobrol berdua. Ternyata aku tidak lagi sendiri. Sudah ada beberapa pasangan muda-mudi yang datang. Juga sudah ada satu, dua, tiga penjual makanan yang lain.
Aku kembali menatap bentangan alam yang mulai terselimuti kegelapan. Memoryku melesat jauh ke belakang. 12 bulan yang lalu. Aku masih ingat betul hari dan tanggalnya. Sabtu, 14 februari 2009. Pagi selepas shubuh, saat aku sedang santai sambil membaca buku karangan Ibnu Qayyim yang bertemakan hati. Tiba-tiba ponselku bordering. TILILIT…TILILIT… suara khas hp jadul, nokia 3310. Tak apalah, yang penting bisa untuk komunikasi. Dan itu merupakan fungsi hp nomor satu, yang lain hanya sunnah. Pikirku berusaha membasarkan hati.
Sepagi ini ada yang menelpon? Ah, paling Mas atau Ibu di kampong. Mereka biasa menghubungiku pagi hari. Entah apa alasan mereka berbuat demikian. Dulu ketika iseng aku bertanya, Mas Totok hanya menjawab, “Siang untuk bekerja, sedangkan malam untuk istirahat dan menyiapkan hari esok. Jadi, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk saling bertegur sapa.” Aku hanya tersenyum mendengar urain Mas Totok. Entah, apakah yang diseberang sana melihat senyum banggaku atau tidak? Dan saat aku tersenyum dan merasa bangga, yang di sebarang sana berujar, “ kamu pasti sedang tersenyum mendengar jawabanku. Dan kamu juga berpikir logis akan uraian singkatku?”
“jangan terlalu PD Mas! Tapi, memang begitulah kenyataannya…”
“Ha…ha…” dia tertawa penuh kemenangan. Mas Totok memang selalu tahu apa yang ada di pikiranku.
Hp jadul itu terus berdering. Menunggu pemiliknya menekan tuts warna hijau di bagian kira atas atau tuts warna merah di bagian kanan atas. Aku meraihnya yang tergeletak bebas di samping laptopku yang butut juga. Yah, semuanya butut. Nggak ada yang keluaran terbaru. Biarlah, yang penting bisa nulis. Nomor asing? Ternyata dugaanku salah. Bukan ibu, bukan juga kakak. Tumben jam segini ada yang menghubungiku? Aku tekan tuts warna hijau tanda menerima panggilan. Connecting… begitu tulisan yang terpampang di layar hp, sebagai tanda Anda telah terhubung dengan seseorang yang ada di seberang sana.
“Assalamu alaikum…?” seru seseorang yang berada di seberang sana. Tepatnya adalah seorang wanita. Merdu, lembut, dan… aku tidak mengenali nada suara seperti ini.
“E, wa alaikum salam… ini siapa dan ada perlu apa?” tanyaku sopan.
“E… anu ustadz… ini dari bagian rohis fakutas kedokteran UMS…” berhenti sejenak. “Apakah saya sedang bersama ustadz Zakky?” lanjutnya kemudian.
“Iya, benar. Ada yang bisa saya bantu?” jawabku pelan berusaha tenang. Walaupun sebenarnya hati begitu deg-degan bercampur dengan penasaran. Dari mana dia tahu nomor hp ku?
“Bisa minta tolong untuk mengisi pengajian para mahasiswi di kampus nggak ustadz?”
“Mm… sebentar…” aku melihat jadwal kegiatanku yang terpampang indah di sebelah kalender. “Sepertinya jadwal saya kosong untuk nanti malam… insyaAllah bisa…” jelasku pada si suara lembut. “Jam berapa dan temanya tentang apa?”
“Ba’da isya’. Temanya tentang valentine day dan remaja hari ini.”
“Tempat?”
“Masjid Fathurrahman UMS.”
“Masjid yang berlokasi di kampus 1 ya…?”
“Iya…”
“InsyaAllah…”
“Jazakallah…”
KLIK! Panggilan terputus. Obrolan singkat. Seperlunya dan tidak berlebihan, bahkan terkesan kaku dan tegas. Setegas apapun apa pun si suara lembut itu mengeluarkan kata-katanya, tetap saja terdengar lembut. Dan kabar buruknya, suara lembut itu masih terngiang indah di lipatan-lipatan otakku. Siapa si pemilik suara lembut itu dan dari mana dia tahu nomorku? Ah, biarlah. Nggak usah dipikirkan. Memikirkannya hanya akan membuat hati ini keruh dan mengurangi nilai keikhlasan. Aku berusaha menepis bujuk rayu musuh utama manusia yang dikenal dengan nama syaithan itu.
###
Adzan sayup terdengar merdu. Mengalun indah memenuhi sudut-sudut bumi. Terdengar hingga radius sekian ratus meter. Nabi pernah bersabda tentang keutamaan seorang muadzin. “Seorang muadzin akan mendapatkan ampunan sejauh suaranya terdengar…”
Sudah sepuluh menit aku menyusuri jalanan kota solo. Gading – Laweyan – Kleco – pabelan. Sisa-sisa gerimis membuat aspal semakin licin. Maklum lagi musim hujan. Akhirnya sampai juga di area kampus. Mendengar sang muadzin mengumandangkan iqamah, aku bergegas mengambil air wudhu, masuk masjid, dan langsung bergabung ke dalam shaf shalat. Betapa damainya hati seorang hamba, manakala mampu menikmati makna dari setiap bacaan dan gerakan shalat. Yang tadinya sebuah kewajiban, kini menjadi sebuah kebutuhan. Jiwa serasa terbelah jika tidak melaksanakan kewajiban shalat ini dengan cara berjamaah di masjid.
Seusai shalat ba’diyah, aku duduk di sudut belakang dengan tubuh terbungkus jaket Rei kesayanganku. Aku membolak-balik lembaran makalah tentang V-day yang telah ku siapkan sebelumnya. Masih ada sisa waktu 30 menit untuk mematangkan persiapan. Terutama mempersiapkan hati, karena yang akan menjadi mad’u adalah para mahasiswi yang masih lajang-lajang. Dan aku sendiri pun masih bujang. Wah, kalau tidak pandai-pandai menjaga hati dan pandangan, bisa-bisa tergiur oleh bisikan setan.
Penampilan pertamaku di kampus UMS memuaskan. Tidak nervous di depan para akhwat, karena mereka ada di balik hijab yang menghalangi pandangan untuk saling bertemu. Dan untuk selanjutnya, aku diminta untuk mengisi pengajian rutin setiap malam ahad di kampus itu. Dari sinilah semua cerita itu bermula…
Seringnya bersinggungan dengan para mahasiswi binaan menjadikan interaksi dengan lawan jenis tak terelakkan. Apalagi saat membuat even-even dan acara-acara di kampus, yang menuntut untuk saling berhubungan via hp. Kabar baiknya, aku hanya berinteraksi dengan satu akhwat saja. Ya, dia si suara lembut yang biasa menghubungiku sebagai jubir para akhwat. Dan kabar buruknya, kami menjadi semakin dekat. Sebenarnya bukan semakin dekat, tapi merekalah para kahwat yang telah sengaja menjodoh-jodohkan kami. Sekali lagi kami berhubungan hanya untuk membicarakan acara dan jadwal pengajian. Tidak lebih. Untuk urusan nama, kami tidak pernah memperbincangkannya. Itu pun tetap berefek samping.
“Mbak, sepertinya Mbak cocok sama ustadz Zakky…” celetuk salah seorang temannya ketika sedang ngumpul bareng di kos-kosan.
“Hush…” saut si suara lembut. “Nggak baik membicarakan orang.”
“Iya Mbak Nisa’, Mbaklah yang paling pantas untuk mendapatkan ustadz Zakky.” Yang jadi objek pembicaraan hanya memandang lembut teman-temannya satu per satu. Tersenyum lembut. Tatapannya menyiratkan akan kebijaksanaan seorang pemimpin. Dia, si suara lembut memang memiliki jiwa seorang manager. Mengatur dengan rapi dan memutuskan dengan bijak. siapa sich yang tidak ingin menjadi isteri ustadz dan dai seperti dia? Katanya dalam hati.
“Ya,kalau Mbak sih, terserah Allah saja. Kalau memang dia ditakdirkan menjadi suami Mbak…” kata-katanya terputus. Ia melanjutkan kata-katanya dengan senyum yang tertahan.
“Ciye…” sahut temen-temennya serempak.
Itu efek samping yang tidak bisa dihindari. Dan semakin hari semakin bertambah tinggi tensi menjodoh-jodohkannya itu. Ini tidak adil, mereka tahu seperti apa jati diriku, sedangkan aku, aku tidak tahu seperti apa rupa si pemilik suara lembut itu. Yang mana pula yang namanya Nisa’? yang aku tahu hanya nomor penselnya, karena nomor itu yang selalu dia gunakan untuk menghubungiku. Dan satu lagi yang aku tahu, ternyata si suara lembut bukan sekedar jubirnya para akhwat, tapi ketua koorditor lapangan. Itu saja yang aku tahu tentang si suara lembut. Nama, nomor ponsel, dan jabatan dia di kampus. Wajah dan rupa, gimana mau tahu. Ada banyak akhwat di sana. Mungkin sesekali pernah melihat tanpa sengaja, tapi tidak tahu mana yang beiasa menghubungiku untuk jadwal pengajian.
Suasana saperti itu aku ketahui berdasarkan laporan dari beberapa kawan yang kuliah di UMS. Bakal terjadi kekacauan kalau keadaan ini dibiarkan begitu saja, pikirku. Demi menjaga hati, aku pun melakukan shalat isikharah dan berdoa kepada Dzat yang Maha tahu. Konsultasi ke beberapa kawan dan meminta pertimbangan kepada ustadz senior.
Kawan-kawan oke. Ustadz-ustadz menyetujui. Tapi hati masih bimbang, karena sampai hari ini, Allah belum memberikan kepastian melalui mimpi-mimpiku di sepertiga malam terakhir. Setelah berpikir keras menentukan keputuan, akhirnya aku pun mengajukan lamaran kepada si suara lembut. Sampai saat itu, aku belum tahu seperti apa rupanya. Supaya berhubungan via hp tidak menjadi fitnah.
Lamaranku masuk melalui murabbiahnya, yang tak lain adalah isteri ustadzku. Inilah tahap kedua dari semua cerita ini. Sebenarnya si suara lembut menyambut pinanganku dengan senang hati. Ia begitu gembira. Permasalahannya ada di kedua orang tuanya. Mereka tidak mengijinkan kalau anak putrinya menikah sebelum kuliahnya selesai. Beralaskan financial dan belajarnya terganggu, lamaranku kandas.
Sedih dan kecewa mendera hati dan pikiran. Tapi ada yang membahagiakan. Si suara lembut memintaku untuk menunggu. Ia berjanji akan meyakinkan kedua orang tuanya, supaya anak putrinya diijinkan untuk menikah denganku.
Satu bulan, dua bulan… ia tak pernah lelah untuk terus membujuk dan merayu. Aku berdoa supaya usahanya menuai hasil. Melihat usahanya yang tak kenal putus asa, benih-benih cinta yang tumbuh di hatiku semakin subur. Semakin besar rasa cintaku padanya. Dan aku pun yakin dia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.
HA…HA…HUUU…WKWKWKWK… suara candaan dan gelak tawa gerombolan anak-anak muda telah menarik jiwaku dari masa lalu ke dimensi nyata. Aku menoleh sebentar. Bukit penantian menjadi lebih ramai dari beberapa menit yang lalu. Cahaya senja belum menghilang sempurna. Aku kembali menatap eksotisme alam yang penuh dengan warna hijau. Menerawang jauh, hingga tak terasa jiwaku melesat berpilin dengan keceptan tinggi ke dimensi masa lalu.
Cerita ini harus selesai sebelum adzan maghrib berkumandang dengan indah. Sampai di mana tadi? Ah ya. Cinta. Aku jatuh cinta kepada si suara lembut. Dan aku yakin dia pun begitu, jatuh cinta kepadaku. Sakali lagi, aku belum pernah melihat seperti apa rupanya. Aku jatuh cinta bukan karena penampilannya, tapi aku jatuh cinta karena dia telah berjuang dengan gigi meyakinkan orang tuanya supaya bisa bersanding dengan diriku di kursi pelaminan nanti.
Ah, cinta. Gara-gara cinta aku rela menunggu sesuatu yang masih samar ujung akhirnya. Akan ku tunggu hingga batas akhir kesabaranku habis. Aku tidak ingin menyia-nyiakan perjuangan tanpa lelahnya, membujuk kedua orang tuanya yang tetap tidak mengijinkan puteri tunggalnya menikah sebelum kuliahnya selesai.
Hari terus bergulir tanpa henti. Tiga bulan berlalu tanpa hasil. Aku masih menanti kepastian dengan sabar. Lima bulan juga lewat tanpa kabar baik. Kesabaran kami masih sekuat karang di tepian laut. Ia sabar merayu dan membujuk kedua orang tuanya. Dan aku sabar menanti kabar baik itu datang menyapa.
Dua belas bulan sudah aku menanti kabar baik itu datang. Waktu yang lama untuk sebuah penantian. Menunggu satu jam saja, rasanya sudah seperti satu tahun. Apa lagi menunggu selama dua belas bulan. Bayangkan…
Kesabaranku mencapai titik akhir paling riskan. Aku sudah tidak sanggup untuk menunggu lebih lama lagi. Habis kesabaranku bukan berarti aku menjadi marah dan membencinya. Aku masih tetap mencintainya. Sungguh tak akan pudar rasa cintaku ini, karena dia telah membuatku kagum segalanya. Tentang suara lembut di pagi hari saat pertama kali menelpon, tentang kehebatannya dalam berorganisasi, tentang kecerdasannya sehingga enjadi rujukan kawan-kawannya di kampus, tentang kegigihannya meraih cintanya, dan tentang… segalanya.
Umurku kini menginjak 27 tahun. Itu artinya tiga tahun lagi aku berkepala tiga. Sudah lebih dari cukup untuk memulai membina rumah tangga.
Dengan pikiran setengah putus asa, aku pun akhirnya melamar akhwat lain. Prosesnya mudah. Dia menerima pinanganku dan orang tuanya pun setuju. Kami membicarakan hari H-nya. Ini kesalahan fatal yang aku buat, yang menjadikan cerita ini semakin runyam, berantakan tak berbentuk. Aku tidak memberitahukan keputusanku melamar akhwat lain kepada usatdz yang menjadi perantara antara aku dengan si suara lembut.
Ah, semua jadi kacau. Kau tahu tentang kabar baik yang selalu ku tunggu? Kabar baik yang telah ku tunggu selama 12 bulan? Ya, kau pasti sudah tahu, karena aku telah menceritakannya di awal tadi. Seandainya aku menambah daya tahan kesabaranku sepuluh hari lagi, niscaya ceritanya tidak akan serunyam sekarang. Mungkin akan bahagia. Masih mungkin, karena takdir hanya Allah yang tahu. Tapi setidaknya harapan akan kebahagiaan bisa diperkirakan dan dengan usah plus do’a. Sekali lagi, ceritanya kini runyam. Serunyam pintalan benang tempo dulu.
Sepuluh hari setelah aku mengalihkan lamaran ke akhwat lain dan siap untuk aqad, kabar baik itu datang.
“Zakky, gimana? Ada kabar bahwa orang tua si akhwat akhirnya mengijinkan untuk menikah.” Kata ustadz yang menjadi perantara di suatu siang.
“Gimana tadz…?”
“Orang tuanya sudah merestui anak gadisnya untuk menikah denganmu.”
BLAAAAR…hening sesaat. Aku merutuki diriku sendiri yang tidak konsultasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.
“Heh, gimana? Kok malah bengong. Bukannya dulu kamu terus mengejar-ngejarnya.”
Aku menahan gejolak yang tak karuan. Entah apa yang ku rasakan saat ini. Harusnya ini adalah kabar baik jika datangnya sepuluh hari yang lalu. Tapi jika datangnya hari ini, kabar baik itu berubah menjadi kabar buruk. Aku dihadapkan pada dua permasalahan. Di satu sisi aku ingin bersanding dengan seseorang yang telah membuatku jatuh cinta, tapi di sisi lain, aku tidak mungkin membatalkan pernikahanku yang tinggal menunggu hari.
“Saya sudah terlanjur melamar akhwat lain dan sudah siap hari pernikahannya ustadz…” Jawabku pelan dengan muka tertunduk lesu.
“Gimana Zak…? Yang bener saja!” Suaranya meninggi. Aku hanya bisa diam. mengumpulkan energy supaya kuat dengan apa yang akan terjadi.
“Jangan main-main dengan pernikahan!” bentaknya lagi. Dia memalingkan wajahnya berusaha menenangkan amarah dalam hatinya.
“Benarkah kamu telah melamar akhwat lain dan sudah terjadi kesepakatan?” suaranya lebih rendah. Santun dan begitu menenangkan. Tak bisa ku percaya, secepat itu ustadz mampu meredam amarahnya.
Aku masih belum menjawab. Terdiam seribu bahasa. Bukannya lupa dengan berbagai macam kosa kata, tapi lidah kelu untuk mengucapkannya.
“Jika benar apa yang kamu sampaikan tadi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat mendengan kabar ini.”
“Maafkan saya ustadz, saya yang salah. Saya tidak konsultasi dulu ke ustadz.”
“12 bulan memang bukan waktu yang pendek. Saya yakin kamu pun merasakan kegalauan saat menuggu kepastian selama itu. Saya bisa memakluminya. Hanya saja, saya masih bingung bagaiman cara menjelaskan kepada dia supaya tidak syok mendengar kabar ini.”
###
Pernikahanku berlangsung sesuai dengan hari yang telah kami tentukan. Kami hidup bahagia, siap membangun keluarga yang sakinah dan berharap Allah memberi kami karunia berupa anak-anak penyejuk bola mata. Ada yang terlewat. Aku masih sempat kepikiran tentang si suara lembut. Ah, bagaimana kabarnya? Apakah dia sudah menikah? Apakah dia kecewa dan membenciku?
Di suatu sore, ketika aku baru pulang dari mengisi pengajian, aku mendapati isteriku sedang bercakap-cakap ria dengan teman akhwatnya di teras rumah. Aku memasuki halaman. Menatap isteriku sambil tersenyum, ia pun membalas senyumku. Berdiri dan menyambut kedatanganku. Aku bertatapan dengan teman isteriku sekilas, kemudian langsung masuk ke rumah. Matanya menandakan dia lebih dewasa dari isteriku dan memiliki guratan seorang pemimpin.
Setelah teman akhwatnya pulang, aku bertanya “Tadi siapa dik?”
“Oh, itu temen adik di kampus. Satu fakultas dan satu kelas, bahkan satu kos-kosan sebelum adik menikah dengan Mas.”
“Makanya, kelihatan akrab sekali.”
“Iya Mas, Mbak Nisa’ memang temen adik yang paling deket. Dia selalu mau ndengarin keluh kesah adik. Mbak Nisa’ juga tidak sungkan-sungkan mengulurkan bantuan untuk akhwat-akhwat lain yang lagi kena masalah.”
“Siapa tadi…?”
“Nisa’… Nisau saidah… dia sebagai korda mahasiswi di kampus.”
“O…” aku hanya ber-o mendengar penjelasan dari isteriku. Otakku langsung dipenuhi dugaan. Apakah Nisa’ temen isteriku adalah Nisa’ yang telah membuatku menunggu lama? Apakah temen isteriku itu adalah akhwat yang telah ku sakiti hatinya? Yang telah ku buat hatinya kecewa? Apakah…
Si suara lembut memang wanita yang baik. Dia tetap tenang dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bahkan dia tidak pernah menceritakan tentang pangeran yang ingkar janji kepada teman-temannya di kampus dan teman-temannya satu halaqah. Tentang siapa pangeran yang ingkar janji itu, dia memendamnya dalam-dalam. Ia bungkus dengan kertas kado terindah, supaya terlihat menyenangkan. Diikat dengan pita warna merah sebagai tanda kado cinta. Lantas ia letakkan kado itu di ruangan paling dalam di hatinya. Ia simpan dengan hati-hati, supaya tidak tersembul keluar tanpa terduga. Tidak ada yang tahu kecuali dia sendiri, ustadzku, dan orang tuanya.
Selesai sudah cerita runyam ini. Cerita tentang penantian panjang. Cerita tentang pengeran yang ingkar janji. Cerita tentang perjuangan. Dan yang terakhir adalah cerita tentang penerimaan. Menerima semua garis takdir yang telah ditetapkan ribuan tahun sebelum anak manusia itu dilahirkan. Dan tahukah kau, bahwa ada kabar baik yang masih tersisa di sepenggal kisah runyam ini? Iya, kabar baik itu adalah si suara lembut kini telah menikah dengan sahabatku. Sahabat yang selalu ada saat aku membutuhkannya. Sahabat yang selalu setia menasihatiku saat aku sedang terpuruk. Seorang sahabat yang tidak sungkan-sungkan mengulurkan tangannya saat teman-teman ikhwan yang lain terkena masalah.
Dia baru menikah siang tadi. Mungkin sekarang dia sedang asyik bersandar di bahu suaminya untuk melepas lelah setelah seharian melayani tamu-tamu undangan. Semoga bahagia selalu.
Selesai sudah cerita ini. Kini ijinkan aku pulang sebelum adzan berkumandang. Isteriku telah menantiku di rumah. Dan aku pun ingin mengunjungi pengantin baru itu bersama isteriku. Telah ku siapkan kado terbaik bagi pasangan baru itu. Mempelai laki-lakinya adalah sahabat terbaikku, sedangkan mempelai wanitanya adalah seseorang yang pernah kubuat kecewa hatinya dan aku sempat jatuh cinta padanya. Yang pasti, telah kusiapkan Kado special buat mereka berdua. Terima kasih sudah mau mendengarkan kisah singkat ini.
###

Tanpa jilbab, wanita hanya seonggok daging pemuas nafsu lelaki. Coba lihat di sekeliling anda! Berapa banyak wanita yang menjadi pemuas lelaki hidung belang. Dari gadis remaja, hingga tante-tante. Sudah banyak yang menjadi korban nafsu lelaki. Baik yang motifnya pemerkosaan, suka sama suka (pacaran), atau tempat-tempat lokalisasi yang menjajakan kaum hawa.

Dari sekian banyak wanita yang menjadi korban. Bisa dipastikan, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang tidak menutup aurotnya. Tapi sayangnya, mereka tidak sadar bahwa dirinya hanya dijadikan budak kelamin bagi lelaki hidung belang.

Tanpa jilbab, wanita hanya sebuah mesin pencari uang. Dibawa kesana-kemari untuk dijadikan mesin pengerup dolar sebanyak-banyaknya. Dipajang untuk dijajakan.  Tidak disangsikan lagi. Bahwa hari ini. Para penjual produk telah mengeksploitasi kaum wanita. Tapi beribu sayang, kenapa justru kaum hawa merasa bangga dengan diperjual belikan dirinya itu?

Tanpa jilbab, wanita hanya sebagai hiasan bagi mata keranjang. Nggak lebih dari sekedar pemuas bola mata. Ditonton dan dinikmati keindahan tubuhnya itu. Wanita ada hanya dijadikan pemuas nafsu birahi.

Tapi coba lihatlah mereka kaum hawa yang berusaha menutupi auratnya. Mereka yang berusaha menjaga diri dari berhubungan dengan kaum pria. Mereka yang senantiasa menutupi tiap jengkal lekuk tubuhnya. Mereka itulah wanita terhormat. Wanita yang akan medidik generasi harapan. Wanita yang akan member kesejukan di dalam rumah.

Hey…

Sadarlah kaum wanita yang suka telanjang…

Sadarlah kaum wanita yang suka memamerkan lekuk tubuhnya…

Hey…

Tidak kasihankah kaian kepada kami kaum laki-laki…

Kami tersiksa melihat adegan wanita-wanita yang berpakaian sronok…

Celana pendek di atas lutut………

Pahanya nampak separoh, bahkan tiga perempat….

Baju oblong…

Dadanya kelihatan menonjol….

Ah,,,,,,,,,,…….

Payah mereka…

Giliran diperkosa oleh kaum pria…..

Mereka menjerit ……… tolong-tolong aku diperkosa….

Aku hanya mnginginkan kebaikan….

Kalau ada yang marah silahkan tulis komen dan alasannya……

AIR MATA

Posted: Oktober 14, 2010 in Uncategorized

Air mata yang telah jatuh Membasahi bumi

Takkan sanggup menghapus penyesalan

Penyesalan yang kini ada

Jadi tak berarti

Karena waktu bengis terus pergi

 

Menangislah  bila harus menangis

Karena kita semua Manusia

Manusia bisa terluka

Manusia pasti menangis

Dan Manusia pun bisa mengambil hikmah

 

Dibalik segala duka

tersimpan hikmah

Yang bisa kita petik pelajaran

Dibalik segala suka

Tersimpan hikmah

Yang kan mungkin bisa jadi cobaan

(dewa)

3 Jembatan Menuju
Negeri Ampunan
Oleh : Fier_arie

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ فَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pernah melakukan kesalahan. Namun, sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah yang bertaubat.”(Hadits)

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Manusia tidak akan pernah luput dari yang namanya kesalahan dan perbuatan dosa. Melakukan kesalahan adalah sebuah keniscayaan bagi anak cucu Adam. Pada diri mereka, bersemayam kelalaian dan kekhilafan. Seperti kata pepatah, “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.”
Tidak bisa dipungkiri. Bahwa, perjalanan manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, akan terbebas dari kesalahan dan selalu berada diatas kebenaran. Itu tidak mungkin terjadi. Terlalu banyak lubang, dan perangkap iblis untuk bisa terbebas dari jerat kesalahan. Terlebih, ambisi Iblis dan sekutunya yang akan selalu menggoda manusia untuk berbuat durhaka sampai hari kiamat kelak.
Dengan adanya dendam kesumat yang mengakar kuat di dalam jiwa Iblis, perjalanan manusia untuk selamat dari lubang kesalahan semakin mustahil. Bapak manusia, Nabi Adam  yang telah merasakan manisnya syurga dan hidup dibawah rahmat ilahy, juga pernah melakukan kesalahan. Dosa yang ia perbuat berakibat fatal. Nabi Adam  dikeluarkan dari syurga setelah memakan buah terlarang karena memenuhi bisikan Iblis dan hawa nafsu. Namun akhirnya beliau menyesal, dan memohon ampunan kepada Allah.
Manusia bukanlah seperti malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Malaikat diciptakan oleh Allah tanpa diperlengkap dengan perangkat “Syahwat”. Sehingga, tidak pernah terlintas di benak mereka untuk berbuat durhaka kepada Empunya. Mereka tidak akan pernah merasa capek, letih, atau bosan saat melaksanakan titah dari penguasa alam semesta ini.
Berbeda dengan malaikat. Manusia diciptakan dengan dilengkapi perangkat “Syahwat”. Sebuah perangakat yang akan selalu mendorong pemiliknya untuk berperilaku menyimpang dari aturan. Manusia seringkali mengikuti hawa nafsu. Padahal, apa yang diingini hawa nafsu selalu melenceng dari jalan yang lurus.
Namun, bukan manusia jika tidak dilengkapi dengan onderdil yang namanya “Akal”(hati nurani-pen). Dengan adanya akal, manusia bisa kembali tersadar saat dirinya berada diatas jalur yang salah. Akal yang sehat akan membantu manusia untuk bertempur melawan bujukan hawa nafsu. Sehingga, ia tetap berada diatas kebenaran.
Khilaf, gagal, berbuat dosa, itu merupakan hal yang lumrah bagi manusia. Karena manusia bukanlah malaikat. Namun, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang cepat sadar dan bertaubat. Kegagalan merupakan suatu hal yang biasa. Namun, bangkit dari kegagalan adalah suatu hal yang luar biasa. Berbuat dosa adalah sebuah kepastian. Namun, menyesal dan bertaubat adalah suatu keharusan.
Jalan menuju taubat
Kema’siatan, dan perbuatan dosa akan selalu mengusik jiwa pelakunya. Perasaan tidak tenang akan selalu bersemayam didalam kalbu. Hati yang bersih nan senantiasa diselimuti dengan perasaan gundah gulana, jika telah melakukan perbuatan durhaka.
Sejatinya, manusia selalu ingin berada diatas jalan yang lurus. Itulah sifat Fitroh manusia. Membenci keburukan, dan mencintai kebaikan. Hanya saja, terkadang bisikan hawa nafsu teramat kuat. Hingga menutupi akal dan hati nurani.
Berpaling dari hawa nafsu, tidaklah semudah membalikkan tangan. Berusaha menepi dari deru ombak di tengah lautan, bukanlah hal yang remeh. Jika keringat harus bercucuran, kucurkanlah. Jika darah harus tertumpah, tumpahkanlah. Karena, kembali ke jalan yang lurus membutuhkan energi yang sangat dahsyat dan mencurahkan banyak tenaga.
Pintu taubat (negeri ampunan) memiliki jalur khusus. Jika seseorang ingin mendapatkan ampunan Allah atas segala perbuatan dosanya, ia harus melalui jalur ini. Tidak sembarangan jalan bisa menghantarkan manusia sampai di negeri ampunan. Jika diibaratkan, perjalanan menuju negeri ampunan harus melalui 3 jembatan khusus. Jika tidak melewati tiga jembatan yang telah disediakan, sudah barang pasti ia akan tersesat entah ke mana.
Jembatan pertama adalah, “Jembatan Penyesalan”. Dengan menyesali perbuatan dosanya yang telah lalu, seseorang telah melewati jembatan pertama. Menyesal bukanlah sebuah tindakan yang menguras energi. Tapi, ia hanya sekedar perasaan bersalah yang bergemuruh dalam hati seseoarang, setelah ia melakukan perbuatan dosa.
Walupun hanya sekedar perasaan, banyak manusia yang tergelincir di jembatan ini. Bukan jembatan penyesalan yang dilalui, tapi justru jembatan bangga. Perasaan menyesal di hati telah sirna, dan di ganti dengan perasaan bangga. Bangga akan perbuatan dosanya. Merasa senang dan enjoy atas perilaku buruknya. Jika bangga yang bersemayam di hatinya, maka ia tidak akan pernah sampai di negeri ampunan.
Jembatan kedua adalah, “Jembatan Perjanjian”. Dengan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan dosanya, maka ia telah melewati jembatan ini. Tentunya bukan sekedar janji yang diingkari. Tapi, janji yang ditepati.
Jembatan ini lebih licin dibanding jembatan yang pertama. Terbukti, banyak manusia yang tergelincir di jembatan “Perjanjian” ini. Begitu banyak menusia yang berjanji. Namun, banyak juga yang mengingkari. Bahkan, lupa dengan janji silamnya seiring berjalanya waktu.
Jembatan ketiga adalah, “Jembatan Azam (tekad)”. Dengan memiliki Azam dan tekad yang kuat, maka jembatan ketiga mudah untuk dilalui. Gunung yang menjulang tinggi akan mudah dilampaui, dengan tekad sepenuh hati.
Banyak manusia yang belum memiliki tekad sepenuh hati. Sehingga, cita-cita menuju negeri ampunan mudah runtuh hanya karena kerikil kecil. Mereka akan segera putus asa dari rahmat Allah, hanya karena rintangan yang tidak seberapa.
Sebenarnya, ketiga jembatan menuju negeri ampunan bisa dilalui bersamaan. Dengan sekali langkah, 3 jembatan terlampaui. Sesalilah perbuatan dosa, milikilah tekad yang kuat, dan berjanjilah untuk tidak mengulangi. Niscaya, anda akan menggapai ampunan ilahy atas kehendakNya.
Tapakilah jalan menuju negeri ampunan, dan jangan kau tunggu kedatangannya. Karena, ia menantimu di sebrang sana. Ingatlah bahwa ampunan Allah sangat luas. Seluas langit dan bumi. Allah pasti akan mengampuni segala dosa hambanya. Asalkan ia mau menyadari kesalahannya, dan bertaubat dengan benar. Sebagaimana janji Allah dalam sebuah hadits Qudsy; “…wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sebanyak awan dilangit. Kemudian engkau meminta ampun kepadaku. Niscaya akan aku ampuni”.(HR.Tirmidzi)

“Man is masure of all things”.

Memang benar, manusia berhak untuk turut serta dalam beraspirasi.  Manusia memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya. Itulah mengapa Allah Sang Pencipta memberikan kelebihan kepada manusia berupa akal. Untuk berfikir, untuk memahami teks, untuk berijtihad, dan masih banyak lagi fungsi akal yang Allah anugerahkan kepada nabi adam dan keturunannya. Sekali lagi anak cucu Adam yang memiliki akal. Bukan revolusi dari Apes, bangsa kera. He…

Manusia berhak untuk mengeluarkan unek-unek yang ada di kepalanya. Hanya saja, apa yang berasal dari logika manusia tidaklah absolute. Artinya, tidak sepenuhnya benar. Bisa benar, bisa juga salah. Tidak baku, alias bersifat dinamis. Oleh karena itu tidak semestinya kita memegang teguh statement yang berasal dari logika manusia murni. “Pokoke, kalau yang berpendapat si Profesor … saya akan mengikutinya”. Atau, “Kalau bukan Pak Kyai anu yang memberi jawaban, saya belum yakin”. Nah, model-model pikiran semacam itu harus segera dihilangkan dari memory otak kita. Gak bener itu…

Kaidah relativisme hanya berlaku bagi logika manusia. Hanya boleh diterapkan pada pendapat-pendapat yang berasal dari otak manusia. Kebenaran mutlak hanya berasal dari Allah yang berupa wahyu kepada para utusan-Nya. Hanya saja, kaidah Relativisme yang sejatinya hanya berlaku bagi pikiran-pikiran para hamba, dipaksakan oleh orang-orang Liberal untuk diberlakukan kepada wahyu Ilahy. Kalau seperti itu ya jelas ngawur. Mau menggugat, kok yang digugat wahyu Ilahy.

Adakalanya kita tidak mengetahui apa tujuan Allah yang tertuang dalam wahyu-Nya. Tapi ketidak tahuan kita, bukan berarti kita diperbolehkan menggugat Sang pemilik alam semesta. Bisa jadi sableng kalau kita memaksakan diri untuk menguak rahasia yang terpendam dalam aturan-aturan Ilahy. Kecuali kalau Allah telah memberikan sedikit penjelasan yang akan menghantarkan kita kepada pengetahuan tersebut. Setinggi apa pun logika manusia, tetap tidak akan mampu mencapai menaranya ilmu Allah. kalau kita tidak diberi keleluasaan untuk menguak tabir itu, ya jangan memaksakan diri.

Hari ini virus relativisme sudah semakin marak dan dianut oleh berbagai kalangan. Di Indonesia sendiri banyak orang-orang Islam yang terkena pemahaman relativisme. Dan akhirnya, banyak orang-orang yang beranggapan bahwa kebenaran itu relative. “itukan menurut Anda! Menurut saya, boleh-boleh saja…”.

Dampak dari berkembangnya paham Relativisme, tidak berlakunya hukum yang telah ditetapkan dalam sebuah Negara. Akan muncul berbagai kelompok dengan aturan maian seenak mereka sendiri. Tidak mengindahkan norma-norma agama yang dianut. Dan Islam memiliki konsep relativisme yang bisa mencegah manusia dari membuat aturan main sendiri-sendiri. Yakni dengan adanya konsep Tsawabit wal mutaghayirat. Ada beberapa perkara yang Tsabit, baku. Ada juga yang mutaghayirat, dinamis, bisa berubah.

Nah, baku dan dinamis merupakan dualisme yang selalu ada. Seperti atas-bawah, kanan-kiri, baik-buruk, pria-wanita, dan lain-lain. kalau ada baku, pasti ada dinamis. Istilah kerennya, Tsawabit wal mutaghayirat. Tsabit itu untuk perkara-perkara yang inti, ushul, hukum, dan keyakinan. Sedangkan Taghayur itu untuk perkara-perkara cabang, fasilitas, operasional, dan alat. Seperti halnya, hukum jihad. Jihad itu sudah paten. Tidak bisa lagi diganggu gugat asal hukumnya. Akan tetapi operasionalnya boleh berubah. Strategi, fasilitas perang, pemilihan tempat dan waktu yang tepat. Jihad itu wajib. Tapi tidak harus dilakukan sekarang kalau belum mampu. Susunlah strategi dan persiapkan segala keperluannya dengan matang. Tidak perlu tergesa-gesa kalau toh akhirnya merugikan banyak pihak. Lebih baik menunggu lama sedikit dengan sabar, tapi memberikan maslahat yang banyak. Karena ditetapkannya syairat jihad itu untuk menjaga darah kaum muslimin dari tangan-tangan najis.

Mutaghayirat, atau yang biasa kita sebut dengan dinamis, juga terjadi dalam penentuan prioritas amal. Dan masing-masing kepala memiliki prioritas amal yang berbeda-beda. Ada yang mendahulukan I,dad & jihad, ada yang mendahulukan dakwah & diklat, ada yang memilih dakwah melalui parlemen, ada juga yang selalu mendengungkan penegakan khilafah. Perbedaan pendapat untuk menentukan prioritas amal adalah salah satu kenyataan yang harus dihadapi oleh umat Islam. Dan tentunya yang demikian tidak masalah selama mereka tidak saling menjatuhkan satu jama’ah dengan jamaah yang lain. Asalkan tidak mengklaim bahwa jamaah diluar kelompoknya salah, atau bahkan dinyatakan kafir, itu tidak mengapa. Karena prioritas amal merupakan sesuatu yang not obsolutly. Relative, tidak mesti benar orang yang mengatakan ini. dan tidak mesti salah orang yang mengatakan itu. Pertimbangannya berdasarkan untung-rugi, maslahat-madharat, efisien waktu & energy, dan efektif kinerja.

Tidak perlu buang-buang energy hanya untuk merubah yang sudah baku. Tidak perlu ngotot hanya untuk mempertahankan sesuatu yang relative. Yang baku, biarlah tetap istimewa dengan ke-bakuannya. Dan yang dinamis, biarlah tetap special dengan ke-dinamisannya. Ikuti aturan-aturan yang baku dan berkreasilah pada hal-hal yang dinamis. Hemat tenaga, pikiran tetap berkembang. (Wallahu a’lam). by : Fier_arie

“Anak-anak…liburan semester ganjil besok, kita akan mengadakan camping di bumi perkemahan Tawangmangu Indah.” Bu Siska, wali kelas kami mengumumkan agenda liburan semesteran. Suasana kelas mendadak rame dengan sorak-sorai para murid kelas XI. Riuh keriangan saling bersaut-sautan.
Senyuman mentari pagi ikut hadir untuk menyapa mereka yang sedang ceria. Terukir di seluruh wajah tiap siswa guratan kebahagiaan. Mereka telah melayang dengan buaian imajinasi masing-masing. Melintas di benak mereka pesona alam perbukitan yang asri. Sejauh mata memandang hanya ada hijau-hijauan. Pohon pinus, cemara, dan semak belukar saling berlomba memperindah suasana. Tumbuh-tumbuhan berkolaborasi guna mempercantik hutan di bumi perkemahan.
Akupun asyik dengan khayalanku sendiri. Hutan belantara yang belum terjamah oleh manusia. Flora dan fauna yang sangat langka. Aku teringat dengan film-film barat yang bersetting hutan. Jurassic Park, The Lost World, Anaconda, dan…
”Mantap, sebentar lagi aku bakal jadi petualang hutan belantara.” Gumamku dalam hati. Aku juga asyik mengobrol dengan teman-temanku yang lain. Kami membincangkan perihal perbekalan, dan segala yang harus dipersiapkan untuk camping.
Disela-sela perbincangan, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Suasana riang masih melekat di wajah tiap siswa. Pandanganku terhenti ketika bola mataku mengarah pada sosok tubuh berambut ikal. Tak kudapati aura keceriaan di wajahnya. Ia tampak serius sedang memikirkan sesuatu. Aku tahu apa yang bersemayam di hatinya. Karena, selain ia teman satu kelas, ia juga tetanggaku. Aku yakin, ia pasti sedang memikirkan biaya untuk acara liburan semester.
Fadhli, satu-satunya siswa di kelasku yang kurang mampu. Ayahnya hanya seorang sopir bus metromini. Ibunya buruh nyuci di perumahan Griya Asri. Ia masuk di SMA Batik 1 karena mendapatkan beasiswa. Dia memang siswa yang cerdas. Nilainya pun selalu di atas rata-rata. Melihat lukisan muram yang terpampang di wajah Fadhli, akupun segera menghampirinya.
“Fadh…ko’ murung terus dari tadi?” aku membuka pertanyaan sambil menata posisi dudukku di bangku depannya yang kosong. Aku menatapnya lekat-lekat. Ia sedikit terkejut dengan kedatanganku.
“Eh, Aldi. Gak napa-napa ko’ Al…! Lagi gak enak badan aja.” Fadhli berusaha menutup-nutupi apa yang ada di benaknya.
“Bohong kamu Fadh…!”
“Sungguh Al…aku gak napa-napa.” Elak Fadhli sambil memamerkan sederet gigi-gigi putih dengan senyumnya yang terpaksa.
“Mukamu gak bisa ngebohongi aku Fadh. Kalau ada masalah cerita sama aku. Aku ini teman kamu. Mungkin aku bisa membantumu. Itu kalau kamu masih menganggap aku sebagai teman. Kalau nggak, ya gak papa.”
“Gak gitu maksudnya Al… Tapi…” Fadhli tidak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi apa…?” Kejarku.
”Tapi… aku gak mau ngerepotin kamu.”
“Siapa yang direpoti? Justru aku seneng Fadh…! Kalau aku bisa membantu
seorang teman. Itu artinya, hidupku bermanfaat.” Jelasku padanya. Fadhli menghela napasnya perlahan penuh irama. Tak lama kemudian, ia menoleh ke arahku dan melabuhkan pandangannya tepat di mataku. Tatapannya mengisyaratkan tanda terima kasih dan harapan.
“Makasih Al…, sudah bersedia membantuku.” Ucapnya lirih sambil memegang kedua pundakku.
Aku berusaha meyakinkannya dengan meraih kedua tangan Fadhli dan menggenggamnya erat-erat. “You are welcome bro, kita kan sahabat. Terus, apa yang membuatmu tak bergairah begini?”
“Gini Al… sudah tiga hari ini, ibuku gak buruh nyuci. Dia sakit demam. Akhir-akhir ini penghasilan bapakku Cuma pas buat setoran. Aku gak sampai hati kalau harus meminta biaya camping sama orang tua.” Tutur Fadhli kepadaku.
“Ooo…jadi itu permasalahannya? Tenang bro…acaranya masih Senin depan. Kamu punya waktu satu minggu untuk nyari uang. Kita sudah besar. Sudah saatnya belajar mandiri. Iya gak…?”
“Nyari uang…? Kerja maksud kamu Al…!?”
“Ya iyalah, masak ngrampok!” Tukasku pada Fadhli.
“Hmm, bagus juga saranmu…tapi siapa yang mau menerima karyawan hanya untuk 6 hari?” Fadhli balik bertanya .
“Bukan jadi karyawan. Tapi, kita akan membuat pekerjaan.”
“Wah…keren juga tuch. Tapi, kerja apa…?” Jawab Fadhli sambil manggut-manggut.
“Begini Fadh…Pak Dheku punya industri donat. Nah, kita akan menjual donat yang kita ambil dari tempat Pak Dhe saya. Kita gak perlu jualan keliling. Cukup dititip-titpkan saja donat itu ke kantin-kantin sekolahan. Pagi ditaruh, sore kita ambil. Simpel kan?”
“Emm…aku terima usulanmu Al… Kapan kita ke tempat pak dhe kamu itu?”
“Nanti siang saja seusai sekolah. Lebih cepat lebih baik. Okey…?”
“Terserah kamu dech. Aku sich okey-okey saja!”

Matahari siang begitu terik. Membuat penghuni bumi menggeliat mencari tempat berteduh. Usai sekolah, aku dan Fadhli menerjang jalanan yang panas. Sengatan matahari yang membakar tak kami hiraukan. Tujuan kami adalah rumah Pak Dhe Tomo, Pak Dheku dari pihak ibu. Aku memacu kendaraanku dengan kencang. Bak pembalap di lintasan sirkuit, aku menyalip kendaraan dan mobil yang berlalu- lalang.
Melintas di jalan Slamet Riyadi yang cukup lebar dan lengang siang itu, spidometerku berkisar antara 80-100 km/jam arah barat. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumahnya. Hanya membutuhkan waktu 10 menit kami sudah sampai di depan rumah Pak Dhe tomo.
Kami langsung mengetuk pintu dan mungucap salam. Sayup-sayup terdengar suara balasan dari balik pintu. ”krek-krek” dalam sekejap pintu terbuka. Berdiri di depan kami Pak Dhe Tomo dengan rambutnya yang memutih.
“Eee…nak Aldi. Dari mana? Mari masuk!” Ajak Pak Dhe setelah membukakan pintu.
“Dari sekolahan. Pak Dhe sehat-sehat saja?” Tanyaku pada Pak Dhe.
“Al-hamdulillah. Silahkan duduk. Lha ini siapa…?”
“Ini teman satu kelas saya Pak Dhe. Namanya Fadhli.” Fadhli tersenyum malu saat kusebutkan namanya.
“Ooo…Fadhli…, bagus juga namanya. Sebentar ya… Pak Dhe ambilkan minum dulu. Biar enak ngobrolnya.”
“Nggak usah repot-repot Pak Dhe! Kami cuma sebentar ko’.”
“Nggak papa, kaliankan habis panas-panasan.”
Setelah berbincang-bincang sesaat, aku pun mengutarakan niat dan rencana kami. Pak Dhe Tomo menyetujui dan memberikan kemudahan untuk membayar uang donat di akhir. Bahkan beliau bangga pada kita berdua. walaupun masih berstatus pelajar, kami tidak malu untuk belajar mandiri. “Seharusnya seperti itulah remaja hari ini. Memiliki etos kerja yang tinggi. Tidak hanya mengandalkan orang tua saja. Setidaknya bisa mengurangi beban mereka.” Puji Pak Dhe kepada kami. Kami menjadi lebih bersemangat mendengarkan penuturan Pak Dhe.
Ku tatap wajah Fadhli. Wajahnya kembali bersemi. Tatapannya penuh dengan semangat yang menggelora. Setelah berterima kasih kepada Pak Dhe, kami pun pulang. Kuantar Fadhli sampai di depan rumahnya.
“Fadh… sekarang giliran kamu…!” Ucapku padanya.
“Iya Al… thanks ya…? Aku berhutang budi sama kamu.” Balasnya sambil tersenyum.
“Gak usah dipikirin. Yang penting kamu harus berusaha, dan kalo ada masalah jangan segan-segan untuk berbagi sama aku. Mmm…aku pulang dulu ya…?”
“Gak mampir dulu nich…?”
“Makasih, dah sore.”
Belum sempat memacu kendaraanku dengan kencang, kuinjak pedal rem dan menoleh. “Oya, jangan lupa besok pagi! Kita ngambil donat bareng, sekalian berangkat sekolah.” Teriakku beberapa meter dari tempat dia berdiri.
“Okey bro…” Jawabnya sambil mengangkat tangan kanannya tinggi.

***

Embun pagi membasahi rerumputan yang hijau. Kicauan burung saling bersaut-sautan menyambut datangnya hari baru. Senyum mentari merekah di ujung timur. Memancarkan sinar menerangi sisi gelap dunia. Udara yang sejuk memenuhi setiap ruang hampa. Pagi yang indah, penuh dengan sensasi baru.
Begitu juga dengan kawanku yang datang sepagi ini. Rona wajahnya memancarkan semangat yang tinggi. Semangat untuk menyongsong lembaran baru. Aku tidak ingin membuatnya menunggu lama. “Bu’…berangkat dulu ya…” Setelah berpamitan dengan Ibu, kami pun meluncur. Bergabung dengan para pengguna jalan yang semakin rame.
Setelah mengambil beberapa kotak donat dari rumah Pak Dhe, kami segera mampir ke kantin-kantin sekolahan. Walaupun ada satu-dua kantin yang menolak, itu tidak masalah buat kami. Karena mayoritas menerima donat yang kami titipkan. Selain harganya yang terjangkau, kualitas juga terjamin. Hanya dengan harga 1.000 rupiah para pelajar bisa menikmati donat aneka rasa.
Usaha yang kami jalankan terhitung lancar. Donat-donat yang kami titipkan tak pernah menyisa. selalu habis disantap para pelajar yang kelaparan. Laba yang kami tuai cukup lumayan. Hanya lima hari berjualan donat, 150.000 rupiah ada digenggaman kami. Sisa 30.000 rupiah jika untuk membayar acara camping.
“Fadh…ini kamu pegang. Sisanya untuk uang saku. Besok kita akan menikmati
alam perbukitan bersama.” Ucapku pada Fadhli setelah menghitung jumlah laba yang kita dapatkan.
Fadhli tersenyum bahagia. Sambil menatap dan menggenggam erat tanganku, ia berujar, “Thanks ya Al…! aku gak akan melupakan kebaikanmu. Kamu bukan hanya sekedar teman bagiku. Tapi, lebih dari itu. You are the real friends.” Ucapnya padaku. Aku membalas senyuman fadhli dan mengangguk pelan.

***

Seperti hari-hari yang telah berlalu. Pagi ini matahari sudah mulai beraktivitas dengan memancarkan sinar terangnya ke sudut-sudut dunia. Ia selamatkan penduduk bumi dari belenggu kegelapan dengan cahayanya yang menyilaukan.
Hari ini, hari senin. Sesuai jadwal, anak-anak kelas XI SMA Batik 1 akan mengadakan camping di bukit Tawangmangu Indah. Siswa-siswi saling berceloteh dengan gayanya masin-masing. Aku tidak melihat dari mereka wajah-wajah yang murung. Semuanya bahagia. Tidak terkecuali aku. Kebahagiaanku melebihi apa yang mereka rasakan. Bukan karena aku akan menjadi petualang hutan rimba. Tapi, karena aku telah membantu seorang teman yang sedang kesusahan.
Truk yang akan mengangkut kami sudah stand by di halaman sekolahan sejak tadi pagi. Jarum jam terus berjalan. Namun, orang yang kunanti belum juga tiba. Padahal, dia telah berjanji akan menikmati alam perbukitan bersama. Aku tidak ingin kebahagiaanku berada di atas penderitaan orang lain. “Ada apa dengannya?” Bisikku dalam hati.
15 menit lagi truk akan berangkat. Tapi, Fadhli juga belum menampakkan batang hidungnya.
“Kemana sich kamu Fadh…? Jam segini belum datang.”
“teganya kamu membohongi aku.”
“Ah tidak-tidak. Kamu anak yang jujur. Gak mungkin kamu berkhianat.”
“Tapi, kamu sudah berjanji akan ikut camping. Uang untuk biaya camping juga sudah ada.”
“Kenapa lagi sich Fadh…? Apa uangnya hilang? Atau gimana?” Aku berdebat dengan batinku sendiri.
Mesin truk telah dinyalakan. Anak-anak kelas XI sudah berada di atas mesin yang menderu. Sebelum aku ikut berdesak-desakan dengan murid-murid yang lain, kusempatkan untuk menjelajahi seluruh sudut sekolahan dengan bola mataku. Untuk memastikan bahwa Fadhli tidak datang.
Aku merasa sepi di tengah keramaian para siswa. Beribu pertanyaan muncul di benakku. Apa yang terjadi? Bukankah dia sudah berjanji? Aku tak bisa merasakan bahagia, jika temanku sedang menderita atau kesusahan. Dan aku akan menjadi orang yang egois, jika aku bahagia tanpa menghiraukan orang lain. Itu sebabnya, aku berusaha mati-matian membantu si Fadhli untuk mencari uang guna biaya acara liburan. Yah…mau gimana lagi, yang penting aku sudah membantu semampuku.
“Al…!?” Tiba-tiba seseorang memanggilku dengan memegang pundakku. Aku yang sedang risau mendadak terkejut. Perlahan aku menolehkan pandanganku. Kuhela nafasku panjang. Dengan perlahan perasaan lega menyelinap di hatiku. Aku membalas senyumannya. Akhirnya, perjuanganku tak sia-sia. Kembali kuhela nafasku. Aku berangkat dengan perasaan bahagia.

***